Seorang ibu tua
duduk dengan manis mengikuti ibadah perayaan Natal di gereja kecil-nya. Ia datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya diluar kota. Karena agak terlambat ia akhirnya
duduk diluar gedung sebab di dalam sudah penuh sesak oleh pengunjung. Bersama
seorang anaknya ia asyik mendengarkan khotbah serta menyaksikan acara demi
acara yang dipentaskan oleh para pengisi acara hanya melalui sebuah layar
televisi kecil di dinding luar gedung. Ketika acara berakhir, si ibu ingin
sekali bersalaman dengan pak pendeta untuk mengucapkan selamat natal tapi karena kesulitan dalam melangkah
akibat penyakit osteoporosis yang dideritanya, maka ia hanya pasrah diam di
tempat duduknya untuk tidak bersalaman. Mungkin pikir ibu itu nanti pak pendeta juga
bakalan keluar melintas di depannya sehingga kesempatan itu bisa diraihnya. Waktu terus berjalan tapi pak pendeta tak kunjung muncul juga. Rupanya ia terlalu
sibuk di dalam ruangan melayani salam para jemaat yang hadir.
Si anak ibu itu akhirnya merasa kasihan dan tidak tega melihat keinginan
ibunya yang belum puas rasanya untuk pulang sebelum bersalaman "Selamat Natal" dengan pak pendeta. Akhirnya anak itu sedikit memaksa ibunya untuk masuk ke dalam ruang
kebaktian ketika pengunjung sudah sedikit berkurang.
Walau hanya bisa sampai di sebelah pintu masuk saja, ibu itu segera meletakkan tongkat
penyanggah tubuhnya kemudian duduk di deretan kursi paling belakang, ..sudah cukup jarak untuk bisa sampai meraik tangan pak pendeta, pikirnya. Lagi-lagi ibu
tua itu dengan sabar menunggu mencari waktu yang tepat sambil berharap untuk
bisa mengambil kesempatan gantian giliran bersalaman dengan pak pendeta.
Ibu
tua itu merupakan jemaat setia di gerejanya. Sudah puluhan tahun ia bersama
keluarganya mengarungi dinamika kehidupan kerohanian bersama para jemaat dengan
berbagai kesan suka maupun duka. Kali ini ketika faktor usia dan kesehatan
tidak memungkinkan lagi untuk bergerak lebih leluasa, akhirnya ibu itu hanya bisa berharap saja. Rupanya sang pendeta tetap sibuk dengan urusannya. Ia terlihat asyik dengan jemaat
lainnya di barisan kursi depan hanya sekedar bertegur-sapa dan berfoto ria. Padahal sangat tidak mungkin bagi sang
pendeta itu untuk tidak mengenal
si ibu yang oleh hampir semua jemaat mengenalnya. Sejurus kemudian pak pendeta itu mondar mandir, bahkan
ibu itu dilewatinya berkali-kali dihadapannya. Tapi si ibu tidak mau menyapanya
karena perasaan sedih terlanjur menggodanya untuk menjadi terdiam sampai akhirnya si
pendeta pulang menghilang ditelan kesibukan malam meninggalkan gedung gereja. Ibu itu akhirnya tertunduk lesu sambil berdoa dalam hatinya kemudian berjalan pulang
bersama keluarganya dengan meninggalkan satu catatan penting dalam pikirannya tentang
hal melayani penuh kasih dan kerendahan hati.
Refleksi :
Kisah tersebut di
atas mungkin bagi beberapa pembaca hanya merupakan hal sepele, tapi sebenarnya
tidaklah demikian. Kita semua
menginginkan kehidupan rohani yang menyejukkan. Peduli dan saling mengasihi. Kita semua akan beranjak tua. Kelak ketika kita tua nanti, kita ingin sekali diperhatikan. Dimaklumi jika pak pendeta itu tidak (mau) melihatnya atau barangkali sudah lupa hingga tercipta kesan orang lanjut usia tidak begitu penting, hanya menyulitkan saja. Baginya lebih enjoy
pada jemaat-jemaat pilihan hatinya yang mungkin dikenal lebih dekat. Apakah itu
yang kita harapkan dari seorang hamba Tuhan yang tugasnya melayani atas dasar
kasih ? Semoga saja tidak.