11 Januari 2015

SALAM


  Seorang ibu tua duduk dengan manis mengikuti ibadah perayaan Natal di gereja kecil-nya. Ia datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya diluar kota. Karena agak terlambat ia akhirnya duduk diluar gedung sebab di dalam sudah penuh sesak oleh pengunjung. Bersama seorang anaknya ia asyik mendengarkan khotbah serta menyaksikan acara demi acara yang dipentaskan oleh para pengisi acara hanya melalui sebuah layar televisi kecil di dinding luar gedung. Ketika acara berakhir, si ibu ingin sekali bersalaman dengan pak pendeta untuk mengucapkan selamat natal tapi karena kesulitan dalam melangkah akibat penyakit osteoporosis yang dideritanya, maka ia hanya pasrah diam di tempat duduknya untuk tidak bersalaman. Mungkin pikir ibu itu nanti pak pendeta juga bakalan keluar melintas di depannya sehingga kesempatan itu bisa diraihnya. Waktu terus berjalan tapi pak pendeta tak kunjung muncul juga. Rupanya ia terlalu sibuk di dalam ruangan melayani salam para jemaat yang hadir.
   Si anak ibu itu akhirnya merasa kasihan dan tidak tega melihat keinginan ibunya yang belum puas rasanya untuk pulang sebelum bersalaman "Selamat Natal" dengan pak pendeta. Akhirnya anak itu sedikit memaksa ibunya untuk masuk ke dalam ruang kebaktian ketika pengunjung sudah sedikit berkurang. Walau hanya bisa sampai di sebelah pintu masuk saja, ibu itu segera meletakkan tongkat penyanggah tubuhnya kemudian duduk di deretan kursi paling belakang, ..sudah cukup jarak untuk bisa sampai meraik tangan pak pendeta, pikirnya. Lagi-lagi ibu tua itu dengan sabar menunggu mencari waktu yang tepat sambil berharap untuk bisa mengambil kesempatan gantian giliran bersalaman dengan pak pendeta.
   Ibu tua itu merupakan jemaat setia di gerejanya. Sudah puluhan tahun ia bersama keluarganya mengarungi dinamika kehidupan kerohanian bersama para jemaat dengan berbagai kesan suka maupun duka. Kali ini ketika faktor usia dan kesehatan tidak memungkinkan lagi untuk bergerak lebih leluasa, akhirnya ibu itu hanya bisa berharap saja. Rupanya sang pendeta tetap sibuk dengan urusannya. Ia terlihat asyik dengan jemaat lainnya di barisan kursi depan hanya sekedar bertegur-sapa dan berfoto ria. Padahal sangat tidak mungkin bagi sang pendeta itu untuk tidak mengenal si ibu yang oleh hampir semua jemaat mengenalnya. Sejurus kemudian pak pendeta itu mondar mandir, bahkan ibu itu dilewatinya berkali-kali dihadapannya. Tapi si ibu tidak mau menyapanya karena perasaan sedih terlanjur menggodanya untuk menjadi terdiam sampai akhirnya si pendeta pulang menghilang ditelan kesibukan malam meninggalkan gedung gereja. Ibu itu akhirnya tertunduk lesu sambil berdoa dalam hatinya kemudian berjalan pulang bersama keluarganya dengan meninggalkan satu catatan penting dalam pikirannya tentang hal melayani penuh kasih dan kerendahan hati.

Refleksi :

Kisah tersebut di atas mungkin bagi beberapa pembaca hanya merupakan hal sepele, tapi sebenarnya tidaklah demikian. Kita semua menginginkan kehidupan rohani yang menyejukkan. Peduli dan saling mengasihi. Kita semua akan beranjak tua. Kelak ketika kita tua nanti, kita ingin sekali diperhatikan. Dimaklumi jika pak pendeta itu tidak (mau) melihatnya atau barangkali sudah lupa hingga tercipta kesan orang lanjut usia tidak begitu penting, hanya menyulitkan saja. Baginya lebih enjoy pada jemaat-jemaat pilihan hatinya yang mungkin dikenal lebih dekat. Apakah itu yang kita harapkan dari seorang hamba Tuhan yang tugasnya melayani atas dasar kasih ? Semoga saja tidak.